Secangkir Mata Perempuan
Perempuan
itu melepas bola matanya dari kelopaknya dengan begitu tenang dan hati-hati. Lalu diletakannya ke dalam cangkir yang masih
kosong.
“Lihat,
bukankah buih kopi di sini menyerupai biji mata saya?”
Benar-benar
sinting. Saya tak benar-benar percaya. Tapi, begitulah yang orang lihat dari
perempuan itu. Sebuah tontonan baru di
kota ini.
Pada
malam hari saat senja menunduk dan memilih pulang, perempuan itu berada di sebuah
kedai kopi yang terletak tidak begitu jauh dari stasiun Lempuyangan. Memesan secangkir kopi hitam dan segelas air
putih.
***
Saya
berhenti di Stasiun Lempuyangan bersama seorang teman dari Jakarta. Rencananya, kami akan menemui seorang teman
lama yang memilih menetap di Yogya setelah menyelesaikan studinya di sana. Nyatanya, cerita perempuan itu sedikit lebih mengganggu
daripada rasa rindu saya kepada seorang teman.
“Lihat
saja ke sana, Mas. Biar nggak
penasaran.” Begitu suara serak dari
ibu-ibu dengan penuh lemak di beberapa bagian tubuhnya sembari merapikan
dagangan.
Betapa
kedai kopi itu cukup ramai sekali di bawah bulan yang menggantung tidak begitu
sempurna. Lampu jalan yang mematung dan
memilih diam. Tidak ingin
berkomentar. Udara yang setia menciumi
malam. Rutinitas-rutinitas malam yang
disaput kabut yang lembab.
Saya
membayangkan dari jauh. Bagaimana
perempuan itu mencuci kedua matanya dengan air putih seperti kebanyakan yang orang
bilang tanpa peduli orang lain yang bisu dan menelan ludah. Entah rasa jijik, atau tak percaya. Atau, “sinting!” kata yang sama persis dengan kepunyaan
saya. Semua perasaan itu tercampur dalam
kepalanya masing-masing.
Saya
ikut menelan ludah, memperbaiki letak ransel saya yang mulai melorot ke lengan.
“Nggak
usah. Kamu nggak suka itu.” Cegah teman saya ketika melihat kaki saya
yang mulai bergerak menuju kedai kopi.
“Ini
langka.” Jawab saya.
Teman
saya tetap mempertahankan genggamannya.
Genggamannya cukup kuat. Namun
tidak membuat lengan saya sakit. Tapi,
saya yakin, lengan saya akan sukses merah karena cengkramannya.
“Kita
ke tempat Ken.”
Saya
menarik napas. Menghusap kening yang
tidak dingin.
“Tapi
setelah semua selesai kita bisa ke sini?”
Itu
ucapan terakhir saya di sekitar stasiun sebelum teman saya akhirnya bersepakat
untuk mengangguk dengan keraguan. Itu
saja.
***
Saya
menyeruput secangkir teh pada sebuah gerimis di sore hari. Di kontrakan Ken. Tentu saja.
Seorang
pria yang sekitar tiga tahun lalu baru mendapat gelar sarjana Ekonomi, mana
mungkin bisa mengangsur perumahan di Yogyakarta. Kamu bayangkan, hidup di kota Yogyakarta
yang, uhm... segala apapun makin merangkak naik. Sementara gaji hanya segitu saja dengan
pergerakan yang cukup lamban. Bisa
mempunyai rumah mungil status milik sendiri pun senangnya bukan main.
“Kau
tak mencari kopi di luar?”
“Gerimis.”
Ken
tak menimpali. Dirinya tahu, saya
termasuk pria yang cukup suka dengan kopi—dulu.
Semasa kuliah, jika ada waktu kami selalu berburu kedai kopi di kota
ini. Gayo Aceh. Kami ingat itu. Mencari tempat terenak dan ternyaman dalam
menengguk kopi. Mencari udara gerimis
yang pantas dihirup hampir tengah malam.
Tidak semua tempat. Hanya
beberapa tempat menurut rekomendasi kawan.
Dan kami merasakan tubuh kami menjadi lebih ringan dan makin ringan
tanpa mengurangi berat badan. Dan
masalah-masalah yang kami tampung menjadi ringan. Keluar dari kepalanya masing-masing.
Hanya
saja... ya, hanya saja. Semenjak ayah
saya merasakan banyak semut yang mengerubungi jantungnya setelah minum kopi
Gayo, saya tidak begitu tertarik dengan kopi itu (semua kopi, bahkan). Ayah saya di salah satu malamnya merasakan
banyak semut menggigit jantungnya dengan tiba-tiba. Begitu tiba-tiba dan menyakitkan. Dan paginya, mereka mengirimi kami karangan
bunga di depan rumah.
Tidak,
ini bukan lelucon. Dan mendadak, semua
jenis kopi bagi saya membuat saya sulit bernapas.
“Kau
tak merekam hujan?” tanyanya.
Kamu
tahu, banyak perihal yang suka saya rekam dengan lensa kamera saya. Semua hal.
Semisal, perasaan gelisah dan kepedihan.
Seperti, embun yang ragu-ragu tumpah ke atas tanah. Atau senja-senja yang bersembunyi di sudut
kota. Saya sering mencarinya untuk merekamnya.
Kadang bersama teman, lebih seringnya
sendirian.
“Kau
mendengar tentang perempuan yang melepaskan bola matanya?”
Saya
menelan ludah. Mengamati butiran hujan
yang mengendap di jendela. Ada yang
tersangkut di kerongkongan saya. Ada
gelisah dalam pori-pori yang kedinginan.
“Sudah
sampai ke ibukota.” Jawab saya.
Ken
hanya menepuk bahu dan tersenyum. Menggantungkan
tanda tanya di ruangan yang remang.
“Kau
bisa merekamnya. Pasti akan melebihi
bualan masalah pemerintahan.”
***
“Tidak
usah. Tidak usah.” Teman saya lagi-lagi menarik saya.
“Saya
harus rekam.”
“Aku
takut, Ben. Bukankah Ken sudah bercerita
panjang lebar.” Matanya pekat menahan
takut. “Sudah, Ben. Bukankah kamu sekarang benci kopi?”
Saya
mematung. Tidak ada gerimis petang
itu. Tapi kabut tipis berlarian di
pinggir jalan raya. Saya bisa menangkapnya. Kabut-kabut itu... bukannya berlari meninggalkan
bangunan dua lantai itu. Tapi justru
mengerumuninya. Makin mendekat, makin
tiada sekat.
Rupanya,
kabut-kabut itu tahu, mana tontonan yang pantas dilihatnya pada petang yang
berubah malam.
“Apa
kamu tidak penasaran? Bagaimana jika
perempuan itu tiba-tiba tidak bisa mengembalikan bola matanya ke lubang mata? Apa kamu tidak ingin lihat itu?”
Teman
saya diam.
“Apa
kamu tidak ingin melihat, bagaimana jika bola matanya yang menyerupai kopi itu
tertinggal di cangkir—membusuk dan dikerubungi semut hingga habis. Dan tamatlah pertunjukan itu bersama
perempuan butanya.”
Teman
saya hanya mematung sembari memengang pergelangan tangan saya dengan gelisah. Tidak ada kata yang dia ucap.
“Ayo.”
“Apa
kamu akan melindungiku?”
Saya
hanya mengangguk.
***
Saya
melihat kerumunan orang yang mematung.
Sebagian bersembunyi di balik bahu kekasih, sebagian memelototkan
matanya. Sisanya, menelan ludah dengan
pikirannya masing-masing. Di sudut
ruangan, saya melihat perempuan dengan mini
dress berwarna putih duduk di sebuah kursi.
“Apa
kalian ingin melihat bola mata saya yang mencair menjadi kopi?” tanyanya lagi.
Tidak
ada yang menjawab. Semuanya diam.
Saya
melihat wajahnya yang begitu lusuh di ruangan.
Sementara, teman saya bersembunyi di belakang saya.
Tidak
lama dari itu, perempuan itu mempertunjukkan sesuatu. Seperti yang orang bicarakan kepada saya.
Benar
saja.
Dengan
begitu pelan, perempuan itu menghusap kedua matanya dengan tisu basah (ya,
sepertinya tisu basah). Dia
menghusapnya, sementara bibirnya terlihat datar saja berwarna darah.
“Seharusnya
aku tidak perlu melakukan ini lagi.”
Begitu
pelan-pelan, perempuan itu membuka kelopak matanya. Sementara tangan kanannya sudah siap dengan
sendok makannya. Tak lama, sendok itu
bekerja dengan mencongkel mata sebelah kanannya. Ada yang basah, mengalir di tebing pipinya
berwarna coklat.
“Seharusnya
bisa dibicarakan baik-baik.” Ucapnya
lagi.
Kali
ini, yang basah berwarna merah.
Sendok
dan tangan-tangan itu terus bekerja dengan sedikit susah payahnya. Tidak mempedulikan orang lain yang memandang.
Saya
melihat sebagian orang yang ada di dalam ruangan berhambur keluar. Dengan pipi yang mengembung, wajah yang hitam
kebiruan. Mual dan... muntah,
mungkin. Ada yang menangis dan
tersungkur ke lantai. Ada yang diseret
ke belakang karena hendak pingsan. Bahkan yang sudah pingsan. Yang lain masih mematung di ruangan.
“Seharusnya
bisa melihat aku baik-baik.”
Di
ruangan itu, hanya beberapa orang yang bertahan. Sebagian memalingkan wajah merasa jijik, yang
lain ikut keluar menundukkan kepala.
Sesaat,
matanya sudah keluar dan dituangakan ke dalam cangkir putih yang tadinya
kosong. Begitu saja. Lalu perempuan itu kembali menghusap kelopak
matanya yang kosong menggunakan tisu basah.
“Lihat,
bukankah buih kopi di sini menyerupai biji mata saya?”
Semua
terdiam.
Beberapa
orang lagi ikut keluar ruangan. Mungkin
tidak tahan. Ada yang bergidik jijik.
***
Saya
menikmati secangkir teh di ruangan Ken, menghadap jendela. Kali ini tidak gerimis. Hanya lembab yang tipis.
“Tidak
mencari kopi? Gerimis sudah berhenti,
Ben. Seharusnya kau bisa mencari kopi.”
Kepala
saya masih diisi perempuan itu. Bukan
kopi. Tapi perempuan dan bola matanya
yang mencair menjadi secangkir kopi.
Bukan kopi yang lain. Hanya kopi dari
bola mata perempuan itu. Waktu lalu,
saya berusaha mendekatinya. Lebih dekat,
tapi tidak sempat merekam dengan kamera saya.
“Jika
ini kopi, apa bisa diminum?”
“Kamu
ingin minum kopi apa?” tanya perempuan
itu.
Saya
tak langsung menjawab. Ruangan menjadi
bisu dengan sedikit mendung di mana-mana.
Saya hanya mengingat ayah. Ayah
yang merasakan jantungnya digigit ribuan semut setelah menengguk kopi Gayo.
“Ayah
meninggal setelah minum Gayo.”
Perempuan
itu tertawa sedikit menyeringai. Lalu
mendadak terdiam.
“Kopi
tak membuat seseorang mati, Ben.”
Tanda
tanya menggantung parah di kepala saya.
Saya melirik ke beberapa pakaian yang saya kenakan. Tidak ada atribut di sana.
***
“Kau
yakin tidak minum kopi, Ben?” tanya Ken
sekali lagi.
“Belum
bisa.”
“Perempuan
itu sinting ya. Lebih sinting dari harga
perumahan. Juga lebih sinting dari
sistem pemerintahan.” Ken mengakui.
Saya
hanya diam. Membiarkan mata saya
mengamati pohon-pohon gagah yang hitam gelap di luar jendela. Cerita perempuan dan matanya yang mencair itu
masih meminta kepala saya untuk memikirkannya.
“Apa
yang ada di kepalamu, Ben? Bukankah kau
ke sini untuk memastikan jika sahabatmu ini baik-baik saja setelah banyak
menengguk kopi?”
Saya
tak menimpali. Perempuan itu masih tajam
di mata saya, di kepala saya, di jantung saya.
Bahkan di jendela, saya melihat perempuan itu tertawa. Tepat di hadapan saya.
“Perempuan
itu sudah mati, Ben. Menengguk air
matanya sendiri. Tengah malam tadi, dia
merasakan banyak semut menggigiti jantungnya sendiri.”
Saya
tak bisa berkata apa-apa.
Yogyakarta,
20 Agustus 2016
Wanda
SP
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com