Minggu, 21 Agustus 2016

Secangkir Mata Perempuan



Secangkir Mata Perempuan


Perempuan itu melepas bola matanya dari kelopaknya dengan begitu tenang dan hati-hati.  Lalu diletakannya ke dalam cangkir yang masih kosong.
“Lihat, bukankah buih kopi di sini menyerupai biji mata saya?”
Benar-benar sinting.  Saya tak benar-benar percaya.  Tapi, begitulah yang orang lihat dari perempuan itu.  Sebuah tontonan baru di kota ini.
Pada malam hari saat senja menunduk dan memilih pulang, perempuan itu berada di sebuah kedai kopi yang terletak tidak begitu jauh dari stasiun Lempuyangan.  Memesan secangkir kopi hitam dan segelas air putih.
***
Saya berhenti di Stasiun Lempuyangan bersama seorang teman dari Jakarta.  Rencananya, kami akan menemui seorang teman lama yang memilih menetap di Yogya setelah menyelesaikan studinya di sana.  Nyatanya, cerita perempuan itu sedikit lebih mengganggu daripada rasa rindu saya kepada seorang teman.
“Lihat saja ke sana, Mas.  Biar nggak penasaran.”  Begitu suara serak dari ibu-ibu dengan penuh lemak di beberapa bagian tubuhnya sembari merapikan dagangan.
Betapa kedai kopi itu cukup ramai sekali di bawah bulan yang menggantung tidak begitu sempurna.  Lampu jalan yang mematung dan memilih diam.  Tidak ingin berkomentar.  Udara yang setia menciumi malam.  Rutinitas-rutinitas malam yang disaput kabut yang lembab.
Saya membayangkan dari jauh.  Bagaimana perempuan itu mencuci kedua matanya dengan air putih seperti kebanyakan yang orang bilang tanpa peduli orang lain yang bisu dan menelan ludah.  Entah rasa jijik, atau tak percaya.  Atau, “sinting!”  kata yang sama persis dengan kepunyaan saya.  Semua perasaan itu tercampur dalam kepalanya masing-masing.
Saya ikut menelan ludah, memperbaiki letak ransel saya yang mulai melorot ke lengan.
“Nggak usah.  Kamu nggak suka itu.”  Cegah teman saya ketika melihat kaki saya yang mulai bergerak menuju kedai kopi.
“Ini langka.”  Jawab saya.
Teman saya tetap mempertahankan genggamannya.  Genggamannya cukup kuat.  Namun tidak membuat lengan saya sakit.  Tapi, saya yakin, lengan saya akan sukses merah karena cengkramannya.
“Kita ke tempat Ken.”
Saya menarik napas.  Menghusap kening yang tidak dingin.
“Tapi setelah semua selesai kita bisa ke sini?”
Itu ucapan terakhir saya di sekitar stasiun sebelum teman saya akhirnya bersepakat untuk mengangguk dengan keraguan.  Itu saja.
***
Saya menyeruput secangkir teh pada sebuah gerimis di sore hari.  Di kontrakan Ken.  Tentu saja.
Seorang pria yang sekitar tiga tahun lalu baru mendapat gelar sarjana Ekonomi, mana mungkin bisa mengangsur perumahan di Yogyakarta.  Kamu bayangkan, hidup di kota Yogyakarta yang, uhm... segala apapun makin merangkak naik.  Sementara gaji hanya segitu saja dengan pergerakan yang cukup lamban.  Bisa mempunyai rumah mungil status milik sendiri pun senangnya bukan main.
“Kau tak mencari kopi di luar?”
“Gerimis.”
Ken tak menimpali.  Dirinya tahu, saya termasuk pria yang cukup suka dengan kopi—dulu.  Semasa kuliah, jika ada waktu kami selalu berburu kedai kopi di kota ini.  Gayo Aceh.  Kami ingat itu.  Mencari tempat terenak dan ternyaman dalam menengguk kopi.  Mencari udara gerimis yang pantas dihirup hampir tengah malam.  Tidak semua tempat.  Hanya beberapa tempat menurut rekomendasi kawan.  Dan kami merasakan tubuh kami menjadi lebih ringan dan makin ringan tanpa mengurangi berat badan.  Dan masalah-masalah yang kami tampung menjadi ringan.  Keluar dari kepalanya masing-masing.
Hanya saja... ya, hanya saja.  Semenjak ayah saya merasakan banyak semut yang mengerubungi jantungnya setelah minum kopi Gayo, saya tidak begitu tertarik dengan kopi itu (semua kopi, bahkan).  Ayah saya di salah satu malamnya merasakan banyak semut menggigit jantungnya dengan tiba-tiba.  Begitu tiba-tiba dan menyakitkan.  Dan paginya, mereka mengirimi kami karangan bunga di depan rumah.
Tidak, ini bukan lelucon.  Dan mendadak, semua jenis kopi bagi saya membuat saya sulit bernapas.
“Kau tak merekam hujan?”  tanyanya.
Kamu tahu, banyak perihal yang suka saya rekam dengan lensa kamera saya.  Semua hal.  Semisal, perasaan gelisah dan kepedihan.  Seperti, embun yang ragu-ragu tumpah ke atas tanah.  Atau senja-senja yang bersembunyi di sudut kota.  Saya sering mencarinya untuk merekamnya.  Kadang bersama teman, lebih seringnya sendirian.
“Kau mendengar tentang perempuan yang melepaskan bola matanya?”
Saya menelan ludah.  Mengamati butiran hujan yang mengendap di jendela.  Ada yang tersangkut di kerongkongan saya.  Ada gelisah dalam pori-pori yang kedinginan.
“Sudah sampai ke ibukota.”  Jawab saya.
Ken hanya menepuk bahu dan tersenyum.  Menggantungkan tanda tanya di ruangan yang remang.
“Kau bisa merekamnya.  Pasti akan melebihi bualan masalah pemerintahan.”
***
“Tidak usah.  Tidak usah.”  Teman saya lagi-lagi menarik saya.
“Saya harus rekam.”
“Aku takut, Ben.  Bukankah Ken sudah bercerita panjang lebar.”  Matanya pekat menahan takut.  “Sudah, Ben.  Bukankah kamu sekarang benci kopi?”
Saya mematung.  Tidak ada gerimis petang itu.  Tapi kabut tipis berlarian di pinggir jalan raya.  Saya bisa menangkapnya.  Kabut-kabut itu... bukannya berlari meninggalkan bangunan dua lantai itu.  Tapi justru mengerumuninya.  Makin mendekat, makin tiada sekat.
Rupanya, kabut-kabut itu tahu, mana tontonan yang pantas dilihatnya pada petang yang berubah malam.
“Apa kamu tidak penasaran?  Bagaimana jika perempuan itu tiba-tiba tidak bisa mengembalikan bola matanya ke lubang mata?  Apa kamu tidak ingin lihat itu?”
Teman saya diam.
“Apa kamu tidak ingin melihat, bagaimana jika bola matanya yang menyerupai kopi itu tertinggal di cangkir—membusuk dan dikerubungi semut hingga habis.  Dan tamatlah pertunjukan itu bersama perempuan butanya.”
Teman saya hanya mematung sembari memengang pergelangan tangan saya dengan gelisah.  Tidak ada kata yang dia ucap.
“Ayo.”
“Apa kamu akan melindungiku?”
Saya hanya mengangguk.
***
Saya melihat kerumunan orang yang mematung.  Sebagian bersembunyi di balik bahu kekasih, sebagian memelototkan matanya.  Sisanya, menelan ludah dengan pikirannya masing-masing.  Di sudut ruangan, saya melihat perempuan dengan mini dress berwarna putih duduk di sebuah kursi.
“Apa kalian ingin melihat bola mata saya yang mencair menjadi kopi?”  tanyanya lagi.
Tidak ada yang menjawab.  Semuanya diam.
Saya melihat wajahnya yang begitu lusuh di ruangan.  Sementara, teman saya bersembunyi di belakang saya.
Tidak lama dari itu, perempuan itu mempertunjukkan sesuatu.  Seperti yang orang bicarakan kepada saya.
Benar saja.
Dengan begitu pelan, perempuan itu menghusap kedua matanya dengan tisu basah (ya, sepertinya tisu basah).  Dia menghusapnya, sementara bibirnya terlihat datar saja berwarna darah.
“Seharusnya aku tidak perlu melakukan ini lagi.”
Begitu pelan-pelan, perempuan itu membuka kelopak matanya.  Sementara tangan kanannya sudah siap dengan sendok makannya.  Tak lama, sendok itu bekerja dengan mencongkel mata sebelah kanannya.  Ada yang basah, mengalir di tebing pipinya berwarna coklat.
“Seharusnya bisa dibicarakan baik-baik.”  Ucapnya lagi.
Kali ini, yang basah berwarna merah.
Sendok dan tangan-tangan itu terus bekerja dengan sedikit susah payahnya.  Tidak mempedulikan orang lain yang memandang.
Saya melihat sebagian orang yang ada di dalam ruangan berhambur keluar.  Dengan pipi yang mengembung, wajah yang hitam kebiruan.  Mual dan... muntah, mungkin.  Ada yang menangis dan tersungkur ke lantai.  Ada yang diseret ke belakang karena hendak pingsan. Bahkan yang sudah pingsan.  Yang lain masih mematung di ruangan.
“Seharusnya bisa melihat aku baik-baik.”
Di ruangan itu, hanya beberapa orang yang bertahan.  Sebagian memalingkan wajah merasa jijik, yang lain ikut keluar menundukkan kepala.
Sesaat, matanya sudah keluar dan dituangakan ke dalam cangkir putih yang tadinya kosong.  Begitu saja.  Lalu perempuan itu kembali menghusap kelopak matanya yang kosong menggunakan tisu basah.
“Lihat, bukankah buih kopi di sini menyerupai biji mata saya?”
Semua terdiam.
Beberapa orang lagi ikut keluar ruangan.  Mungkin tidak tahan.  Ada yang bergidik jijik.
***
Saya menikmati secangkir teh di ruangan Ken, menghadap jendela.  Kali ini tidak gerimis.  Hanya lembab yang tipis.
“Tidak mencari kopi?  Gerimis sudah berhenti, Ben.  Seharusnya kau bisa mencari kopi.”
Kepala saya masih diisi perempuan itu.  Bukan kopi.  Tapi perempuan dan bola matanya yang mencair menjadi secangkir kopi.  Bukan kopi yang lain.  Hanya kopi dari bola mata perempuan itu.  Waktu lalu, saya berusaha mendekatinya.  Lebih dekat, tapi tidak sempat merekam dengan kamera saya.
“Jika ini kopi, apa bisa diminum?”
“Kamu ingin minum kopi apa?”  tanya perempuan itu.
Saya tak langsung menjawab.  Ruangan menjadi bisu dengan sedikit mendung di mana-mana.  Saya hanya mengingat ayah.  Ayah yang merasakan jantungnya digigit ribuan semut setelah menengguk kopi Gayo.
“Ayah meninggal setelah minum Gayo.”
Perempuan itu tertawa sedikit menyeringai.  Lalu mendadak terdiam.
“Kopi tak membuat seseorang mati, Ben.”
Tanda tanya menggantung parah di kepala saya.  Saya melirik ke beberapa pakaian yang saya kenakan.  Tidak ada atribut di sana.
***
“Kau yakin tidak minum kopi, Ben?”  tanya Ken sekali lagi.
“Belum bisa.”
“Perempuan itu sinting ya.  Lebih sinting dari harga perumahan.  Juga lebih sinting dari sistem pemerintahan.”  Ken mengakui.
Saya hanya diam.  Membiarkan mata saya mengamati pohon-pohon gagah yang hitam gelap di luar jendela.  Cerita perempuan dan matanya yang mencair itu masih meminta kepala saya untuk memikirkannya.
“Apa yang ada di kepalamu, Ben?  Bukankah kau ke sini untuk memastikan jika sahabatmu ini baik-baik saja setelah banyak menengguk kopi?”
Saya tak menimpali.  Perempuan itu masih tajam di mata saya, di kepala saya, di jantung saya.  Bahkan di jendela, saya melihat perempuan itu tertawa.  Tepat di hadapan saya.
“Perempuan itu sudah mati, Ben.  Menengguk air matanya sendiri.  Tengah malam tadi, dia merasakan banyak semut menggigiti jantungnya sendiri.”
Saya tak bisa berkata apa-apa.


Yogyakarta, 20 Agustus 2016
Wanda SP


Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com

Sabtu, 28 Maret 2015

Tanatos

Chalange hari ini

Kata Kunci : Buku
Waktu : 10 menit
Tanpa edit di luar 10 menit, dan lihat betapa berantakan hasilnya.

Sabtu, 28 Maret 2015


Tanatos


Entah, seberapa lama aku tidak pernah memerhatikannya. Pikiranku yang selalu tertutup oleh dirinya. Mungkin. Aku sering mengatakan tidak untuk jatuh cinta pada perempuan itu. Perempuan yang selalu datang menemuiku dengan buku setebal itu. S.H.I.M.L.Y., judul yang terbaca oleh mataku yang sedikit minus.
“Kau menyukainya?” tanyaku waktu itu.
“Ya. Seorang lelaki muda yang mengorbankan semua pendidikannya di luar negeri untuk kekasihnya.” Katanya yakin.
Sungguh, jika aku jadi lelaki dalam cerita itu, aku tak akan melakukannya. Oh... ada apa dengan lelaki seperti itu, yang mengorbankan studi di luar negeri karena masalah perempuan? Ah, bodoh sekali dia.
“Kau tak pernah jatuh cinta.”
Apa? Jatuh cinta? Aku pernah jatuh cinta. Ya... jatuh cinta. Tahu apa dia soal cinta? Oh, perlu kau tahu, perempuan itu namanya Tanatos. Nama yang mengingatkanku tentang teori Freud. Hasrat tentang... hal yang buruk dalam kehidupan ini.
“Kau sedang jatuh cinta?”
“Oh...tidak juga.” Katanya.
“Itu hanya novel, kau terlalu banyak membaca buku fiksi. Pantas saja kau selalu menceritakan hal-hal yang tidak realistik.”
“Tapi ini realistik.” Sanggahnya.
“Oh... mana mungkin? Lelaki mana yang berkorban, tidak melanjutkan studinya gara-gara seorang perempuan yang dia cintai? hah? Itu konyol.”
“Kau tak pernah jatuh cinta!”
“Aku pernah!”
Ya, setidaknya lima tahun lalu.

Minggu, 08 Februari 2015

EMBUN



Pada embun yang selalu menampakkan dirinya di pagi hari,
menyejukkan,
bersembunyi di antara dedaunan yang masih menggeliat.

Manja,
tenang,
seperti bayi yang terlahir kembali.

Kadang meringkik,
menggeliat seolah tak mau bangun,
padahal,
mentari telah terik.

Memberikan kehangatan baginya,
lalu,
melenyapkannya.

Menghangatkan, tapi melenyapkan.
menenangkan, tapi membunuh.

Sleman, 8 Februari 2015

Kamis, 11 Desember 2014

Untuk Senja yang Rela Menanti

Senja.  Begitu kata orang, dengan aroma remang yang telah menghantarkan matahari bertepi pada garis cakrawala.
Perempuan itu menjatuhkan pandangannya pada baner bertuliskan ‘Twizel Resto Baked Rice’ warna coklat.
Badannya kecil, ramping.  Rambutnya coklat, hampir sepinggang.  Wajahnya oval dengan paras yang lumayan ayu.  Kedua bola matanya berwarna coklat, seperti orang jawa pada umumnya.  Alisnya melengkung tipis.  Dipoles dengan pensil alis warna coklat sehingga lebih rapi dari sebelumnya.  Hidungnya mancung di bagian ujungnya.  Seperti bukit kecil yang menyembul di antara pipinya.  Bibirnya kecil, dengan warna peach yang dia poleskan.  Perempuan itu turun dari jok motor.
Bangunan kafenya terlihat minimalis.  Seperti rumah kecil berlantai dua pada umumnya.
Pada sebuah senja di lantai dua, dia melihat seorang lelaki yang duduk sendirian di balkon meja 16.  Menikmati sebuah bacaan dan menenggelamkan kedua bola matanya pada halaman buku.  Tubuhnya tidak terlalu kekar dan gagah.  Bentuk wajahnya diamond, dengan hidung yang tidak terlalu mancung.  Rambutnya lebat, poninya yang tidak terlalu panjang ditepiskannya ke arah kiri.
Lelaki itu mengenakan kemeja kotak-kotak warna putih-ungu.  Lengannya ia lipat sesiku.  Dipadukan dengan celana jeans warna hitam dan sepatu converse hitamnya.
“Ve,”  sapa lelaki itu.
Ia tak melanjutkan bacaannya.  Memindahkan fokusnya pada perempuan yang ia panggil Ve.  Kini mereka duduk berhadapan.  Hanya ada sekat meja kaca di antara keduanya.  Ve masih sibuk beradaptasi dengan kursi mungil yang didudukinya.
“Ehm.”  Ve berdehem.  Mungkin, kali ini dia mencoba beradaptasi dengan suaranya.  Lalu meletakkan tas mungilnya di lantai.
Kini kedua pasang mata itu beradu.  Tak lama, lelaki itu tersenyum.
“Oke,”  katanya, “kamu mau pesan apa?”
Ve tersenyum.  Mengangkat bahu, lalu mulai membuka buku menu yang dipegangnya.
“Bukankah kali ini kau ingin bicara serius tentang ...?”  tanya Ve tak selesai sambil membuka buku menu.  Tangannya terhenti, dia menatap lelaki di depannya yang memiliki nama... Damar.  Senyumnya mengembang.
“Iya,”  jawab Damar mengangguk lalu tersenyum.
“Apakah ada klien lagi?”  tanya Ve kembali melihat buku menunya.
Damar menggeleng, menyendokkan caramel chocolate ke dalam mulutnya.
“Aku rasa, aku punya pekerjaan yang lebih rumit daripada menjodohkan anak adam dan hawa itu.”
“Hm...”  Damar berdehem, menggelengkan kepala.  Dia tersenyum, lalu melemparkan pandagannya ke luar.  Menikmati semburat senja yang makin lenyap.
“Aku tahu, kamu pasti tahu semua di dunia ini selalu berpasang-pasangan bukan?”  tanya Ve.
Damar mengernyitkan dahi,  terlihat lebih serius.  Membuat kedua alisnya hampir bertemu.  Tapi menjauh lagi.
“Lalu?”  tanya Damar seolah tak mengerti dan ingin tahu lebih jauh apa maksud dari pertanyaan Ve.
“Kau sebutkan saja, apa saja yang diciptaan berpasang-pasangan di dunia ini.”  Kata Ve.
“Maksudmu?”  Damar terlihat bingung.  “Kita hanya mempertemukan dua manusia.  Dengan rasa cinta.  Dan kalau bisa mereka berjodoh. Itu saja.”  Kata Damar.
“Hei, bukan hanya manusia saja yang berjodoh dan butuh cinta.”  Kata Ve.
Ve mengangkat tangannya, berharap ada waiter atau waitres menuju tempatnya.  Setelah memberikan paper order dan waiter itu membacakan ordernya, Ve kembali membicarakan hal itu kepada Damar.
Ya, di sela aktivitasnya sebagai mahasiswa, Damar dan Ve memiliki kegiatan unik.  Yaitu mencoba menyatukan dua insan manusia menjadi satu.  Bisa dibilang mak comblang dan bisa dibilang itu bukan mak comblang.  Apapun itu namanya, bagi mereka tidak penting.  Niat mereka hanya satu, ingin menyatukan mereka yang sulit untuk bersatu dalam sebuah cinta.
“Kamu mulai gila.”  Kata Damar.
“Tidak, aku tidak gila Damar.  Tunggu dulu.”  Kata Ve sambil mengubah posisi duduknya.  “Tidak seharusnya kita membatasi hanya manusia saja yang hidup berpasangan.  Selain manusia, mereka juga dipersatukan.  Hidup berpasangan.”
“Aku tak mengerti, apa yang ada dalam otakmu Ve.”  Kata Damar lagi.
“Hei, anggap saja ini hanya permainan.  Tantangan kita.  Toh, kita lagi kosong.  Nggak ada klien.  Kenapa nggak bikin seru-seruan aja dengan hal ini?”  ucap Ve.
“Terus terang saja.  Maksudmu apa?”  tanya Damar penasaran dengan apa yang dikatakan Ve dari tadi.
Ve terdiam.  Dia menatap senja.  Tangannya memainkan vas kecil di atas meja.  Diputar-putarnya vas kecil itu.
“Kita hanya penikmat senja.”  Kata Ve.  “Penikmat senja yang tak bisa mengeja senja dengan baik.”  Wajahnya menunduk.
Damar terdiam, berusaha memaknai kalimat yang keluar dari ucapan Ve.  Beberapa kali Damar mengetukkan jari telunjuknya di atas meja.  Hingga terdengar suara, “tuk-tuk”.
“Pernahkah kamu berpikir tentang senja yang renta itu?”  tanya Ve, kembali menatap senja.  “Bahkan, dia tak pernah memberitahu kekasihnya akan keadaannya sekarang.  Tiada yang peduli.  Manusia hanya sibuk bersenang-senang dengan cinta yang dia punya tanpa tahu lebih banyak tragedi senja.  Manusia penikmat senja, menikmati senja bersama kekasihnya.  Memamerkan keromantisannya di bawah aroma senja.”
Mereka terdiam.
“Padahal, senjalah yang berkontribusi sehingga suasana itu menjadi romantis.  Kasihan senja.  Melihat ribuan manusia memadu kasih.  Sedangkan, dia sendiri tak bisa itu.”  Tambah Ve.
Pernyataan Ve ada benarnya.  Mengenai senja yang selalu kesepian tanpa kekasihnya.  Tapi bagi Damar, itu terlalu konyol.  Ve terlalu gila dan tak waras mengurus senja yang seperti itu.
“Kau...” ucap Damar, “kau lucu.  Kau mulai tak waras Ve.”  Katanya sambil tertawa.  Tubuhnya bergerak mengikuti gelak tawanya.
Aura Ve berubah.  Kini semakin buruk, penuh dengan rasa negatif.  Ve tampak kecewa melihat reaksi Damar.
Baginya, ini sebuah keseriusan.  Keseriusan yang muncul dalam hatinya, sebuah rasa dengan hati.  Penikmat senja, tapi ingin tahu tragedinya.  Dengan pikirannya sendiri.  Pikiran yang terus berporos dan tak mau lepas dari pusarannya.
“Aku serius Damar!”
Damar terdiam.  Tawanya terhenti.
***
Sejak kejadian itu, Ve dan Damar jarang bertemu.  Dua minggu terakhir, Ve tidak pernah ke kampus lagi.  Damar menjadi khawatir dengan Ve.  Ia merasa bersalah kepada Ve.  Ada apa dengannya?  Ia sudah berusaha mencari tahu di mana Ve, tetapi tak ada informasi yang ia dapatkan.  Setiap Damar ke rumah Ve, dia tak pernah di rumah.  Orang tuanya juga tidak tahu, ke mana Ve pergi.
Pada suatu senja di sudut Jogja, tanpa sengaja Damar bertemu dengan Ve.  Kali ini Ve berada di Kafe Sunrise Senturan sendirian.  Dengan drawing book ukuran A3 dihadapannya dan pensil 2b hijau tua di tangan kanannya.
“Ve...” sapa Damar pelan.
Ve kaget, dia segera menutup lukisannya.  Sebelumnya, Damar sempat melirik sketsa yang Ve buat.  Tapi tidak begitu jelas.  Hanya terlihat gambar matahari yang mulai terbenam.  Ve terdiam, lalu mengambil secangkir hot chocolate seolah tak ingin tahu keberadaan Damar.
“Ve,” sapa Damar lagi.
Tak ada sahutan.  Ve menelan minuman yang baru saja masuk ke dalam rongga mulutnya.
Damar tak kehabisan akal.  Ia menarik kursi dan duduk di samping kanan Ve.  Sepasang matanya menatap Ve dengan redup.  Pandangan Ve kosong.  Wajahnya putih bersih.  Tapi redup.  Damar mencoba mendekatkan diri dan mulai memasuki garis nyaman Ve.  Ia menggenggam tangannya.
“Ve...”  kata Damar pelan, “aku minta maaf.”
Ve tak merespon.  Terdengar napas Damar yang mendesah panjang.  Damar mencoba mencari cara lain.  Ia menoleh pada sudut ruangan itu, lalu kembali menatap Ve.
“Aku tahu aku salah.  Aku mentertawakanmu sore itu.  Tidak seharusnya aku bersikap seperti itu kepadamu.  Aku ingin, hubungan kita seperti dulu Ve.  Tidak seperti ini.”  Kata Damar.
“Ya.”  Kata Ve hampir tak terdengar.  Dia menarik tangannya yang dipegang Damar.
“Kamu serius memaafkan aku?”  tanya Damar lagi.
“Iya.  Mar.”  Ve mengangguk.
Bahasa tubuh dan komunikasi mereka masih terlihat dingin dan kaku.  Damar berusaha masuk ke dalam perasaan Ve.
Entah, apa yang Damar lakukan hingga hubungan itu makin lama akhirnya kembali membaik.  Beberapa senyum yang indah mulai muncul dari bibir Ve. Begitu juga dengan Damar.  Bahkan, mereka sempat tertawa dan bercanda setelah beberapa menit yang lalu hanya bungkam.
“Jadi, kau ingin memberikan sketsa senja ini untuk fajar?”  tanya Damar.
“Iya.  Fajar pasti senang bisa menatap senjanya.  Meski hanya sebuah lukisan.”  Katanya.  “Mereka adalah sepasang kekasih yang tak pernah memandang, bertemu, apalagi beradu.  Mungkin sketsa ini mampu mengobati kerinduannya.  Bisa menceritakan dan mendiskripsikan kekasihnya yang mulai renta itu.  Dan menghilang ditelan usia.”
“Baiklah.”  Damar mengangguk.
Sejujurnya, Damar bingung juga dengan kemauan Ve yang ingin mempertemukan fajar dengan senja lewat sketsa itu.  Itu tindakan bodoh, tidak cerdas, dan tidak masuk akal.  Entah siapa yang mulai tak waras.  Dirinya, atau Ve dengan sikapnya yang dibilang tak masuk akal itu.  Ia tidak mengerti, apa yang ada dalam pikiran Ve.
Damar hanya mengikuti kemauan Ve, cara berpikir Ve yang sedikit aneh.  Ia mencoba memasuki jalan pikirannya meskipun, sulit.  Ia tidak mau hubungannya berantakan lagi lantaran ia selalu mentertawai tindakan Ve yang konyol itu.
Pada suatu sore, Damar mengajak Ve ke Bukit Bintang yang terletak di Patuk, Gunungkidul sebagai permintaan maafnya kepada Ve.
“Kamu bisa menikmati dan mengeja senja lebih baik di sini untuk sketsamu itu.  Di sini jauh lebih baik kan?”  tanya Damar.
Ve tersenyum, dia mengangguk.  Matanya berbinar.
“Terima kasih.  Ini senja terindah dalam hidupku.”
“Melukislah dengan ini.”  Damar memberikan kanvas dan cat air yang dia bawa dari Jogja.
Damar kini seolah telah masuk ke dalam pusaran pikiran Ve.  Mengikuti, dan mulai melakukan apa yang dilakukan Ve.  Kini mereka melukis senja.  Melukis senja yang esok harinya diberikan kepada fajar di Gunung Api Purba Nglanggeran.  Lebih tepatnya, setelah lukisan senja itu terbentuk sempurna selama lima hari senja berturut-turut di Bukit Bintang.
Fajar menyinari senja itu dengan hangat.  Memantulkan cahaya terangnya hingga senja itu bersinar kekuningan.  Ve tersenyum puas melihat tragedi itu.  Sebuah fajar yang menatap senja.  Damar sendiri, ia tersenyum melihat tingkah Ve yang sedikit aneh itu.
“Aku ingin, suatu saat senja juga mampu menatap kekasihnya seperti ini.  Membaca ceritanya, atau apapun itu.”  Kata Ve sambil menatap senja pada pagi hari.
“Kau ingin melukis fajar untuk senja?”  tanya Damar.
“Mungkin.”  Jawab Ve pelan.  Matanya masih menatap lukisan itu.  Jarinya menghusap lukisannya.
“Bukankah kau pernah bilang jika senja sudah terlalu renta?  Untuk kriteria itu, mungkin dia sudah tidak mampu menatap dengan lebih baik lagi.”  Kata Damar tidak beranjak dari tempat duduknya.
Ve mengalihkan tatapannya pada Damar.  Dia terdiam mendengar pernyataannya.  Kali ini, Damar yang mencoba menguasai pikiran Ve.
“Kau ingin menertawakanku lagi?”  tanya Ve.
“Tidak Ve.  Tidak.”  Katanya, “kenapa kau tak menulis surat atau puisi saja untuk senja?  Untuk pagi hari, suasana itu lebih indah untuk berpuisi bukan?  Menurutku, itu mampu memberikan diskripsi fajar yang lebih baik.”
Kali ini Damar yang menguasai.  Ve mengangguk setuju dengan apa yang dikatakan Damar.  Kini, Ve yang mulai mengikuti cara berpikir Damar.  Mempertemukan senja dengan kekasihnya melalui puisi.
“Iya, kamu benar.  Aku akan menulis puisi untuk senja.”  Kata Ve.

***
Dibukanya kertas warna tosca yang terlipat rapi itu.  Seperti puisi, mungkin surat, atau puisi di dalam surat?  Atau... surat di dalam puisi?  Entahlah.

Aku mencintaimu seperti fajar dan senja
tak pernah memandang, bertemu, bahkan beradu.
Memang seharusnya seperti itu.
Aku tak pernah tahu kamu, kamu tak pernah tahu aku
dalam dasar hati yang paling dalam.
Aku mencintaimu seperti fajar dan senja
tak pernah memandang, bertemu, bahkan beradu.
Seharusnya tetap seperti itu.
Aku  mau itu, karena aku ingin kita begitu
dengan rasa yang tak pernah kau tahu.
Aku pernah jatuh cinta kepada lelaki.  Lelaki yang dijodohkan untuk perempuannya.
Jika kita bisa menyatukan kedua anak adam yang berjodoh dengan rasa cinta,
maka tidak untuk diriku.
Jika aku mampu mempertemukan fajar dan senja lewat lukisannya,
maka tidak untuk diriku.
Kita tak pernah tahu, ke mana sebuah kisah akan bermuara.  Tapi di sinilah kita berakhir.
Penyakit kistaku telah membawaku pada perbatasan usia, Damar.  Seperti senja yang menghilang ditelan malam.  Di sanalah aku berada.  Itu sebabnya kenapa aku selalu iba kepada senja.
Kini aku menikmati senja di surga, melukisnya lalu memberikannya kepada fajar setiap pagi.
Senja di surga lebih indah, Damar.  Tidak seperti di rumahku dulu.  Aku berharap, kita bisa bertemu lagi di sini.  Aku menunggumu. Aku ingin melukis senja berdua bersamamu seperti dulu.  Di surga. Jika dunia tidak menjodohkan kita dalam cinta yang saling menyapa, setidaknya aku masih menyimpan harapan di surga. Lelaki dengan kemeja sesiku yang aku cintai.
Ve Alfria

Kini Damar tahu, apa sebabnya Ve selalu menatap senja dan mendiskripsikan senja seperti itu.  Bagi Ve, senja adalah dirinya.  Senja yang akan menghilang.  Ditelan usia.
Kini Damar juga tahu, ternyata Ve mencintainya.  Di saat Damar kehilangannya.



Sleman, 15 Agustus 2014
Wanda Sp